Gambar ini hanya ilustrasi |
“Kita putus!”
Masih terngiang ditelingaku kalimat yang diucapkan Agnes dua jam yang lalu.
Aku hanya diam membisu. Seolah
ada sesuatu yang tajam menusuk ke dalam hatiku.
“Kamu ngga kayak cowok
teman-teman aku yang lain. Kalau mau dibandingin kayak langit dan bumi deh.
Semuanya pada cerita tentang kehebatan dan kelebihan pacar mereka sedangkan
aku? Aku ngga tau harus ngomong apa!”
Aku memilih diam dan mendengarkan
alasannya memutuskan hubungan kami yang sudah berjalan dua tahun.
Tepatnya hari ini kami dua tahun jadian.
“Masa hari gini dia ngga punya
Blackberry?! Yang ada hanya Hp butut nan tua. Yang bisa untuk sms dan telpon
doang. Sedangkan pacar teman-teman aku, jangankan BB, iphone pun punya. Trus
kamu ngga pernah jemput aku. Jangankan pake mobil. Sepeda aja ngga punya, apa
lagi motor! Ke mana-mana naik angkot. Duh, padahal Jakarta kan panas dan
berdebu di mana-mana. Coba lihat tuh, cowoknya si Ririn. Mau naik mobil apa aja
bisa. Tinggal pilih yang ada di garasi rumahnya. Sopir ngga cuma satu tapi
lebih. Ke mana aja pasti dianterin. Sementara, kamu?! Jauh banget……”
Aku mencoba menahan rasa sakit
tersebut.
“Kamu tidak pernah ajak aku makan
di kafe atau restoran yang berkelas gitu. Yang ada minum es teh dan makan bubur
di pinggir jalan. Kan kalo teman-teman aku liat bisa gengsi aku. Gengsi
segengsi gengsinya. Gokil, malu-maluin banget sebanget bangetnya!”
Hatiku hanya berbisik, “Jadi
selama ini kamu malu kalau aku ajak kamu makan di pinggir jalan?”
“Kamu ngga pernah ngasih aku kado
atau sesuatu yang “mahal” gitu. Coba, si Keisha yang baru jadian satu bulan ama
si Tio, pake liontin berlian. Sedangkan aku? Mimpi kali yeeee….”
Akhirnya bibirku pun mengeluarkan
kalimat tersebut. “Maaf, kalau selama kita jadian aku tidak bisa seperti
pacar teman-teman kamu. Terima kasih kalau kamu pernah hadir dalam
hidupku. Seharusnya dari awal kamu tau kalau aku hanya anak yatim piatu yang
tidak memiliki apa-apa.”
Detik berikutnya aku hanya melihat
punggung Agnes yang meninggalkanku. Meninggalkan sebuah luka dihatiku.
*****
“Ko Tara!” teriak Daniel
menyambut kedatanganku. Sebuah pelukan hangat membalut tubuhku. Sambutan Daniel
menjadi obat sakit di hatiku.
Aku membalas pelukannya. Detik
berikutnya air mataku jatuh tak tertahan. Aku tidak pernah menyesal terlahir
dikeluarga yang miskin. Aku tidak pernah menyalahkan Tuhan ketika aku harus
kehilangan kedua orang tuaku lima tahun yang lalu. Waktu mereka pergi untuk
selama-lamanya, Daniel baru berusia dua tahun. Beruntung waktu itu aku baru
saja menyelesaikan bangku SMA.
Aku harus membesarkan
Daniel sendiri dengan hasil uang yang aku dapat dari menjadi seorang social
media specialist dan brand consultant yang aku rintis.
“Kamu sudah makan?” tanyaku
sambil menatap wajah Daniel.
“Aku nunggu koko! Aku mau makan
dengan koko!”
Aku memperhatikan wajah Daniel!
Pucat! Sementara ada tanda bercak darah pada kulitnya yang putih.
“Kamu ngga kenapa-napakan, Dan?”
Tanyaku penuh dengan kekuatiran.
“Koko, Daniel sehat-sehat saja!
Cuma tadi sempat mimisan!”
Aku terkejut mendengar jawaban
Daniel.
“Selesai makan nanti kita ke
dokter ya?”
“Daniel, takut di suntik!”
“Kamu ngga usah takut! Kan ada
koko! Disuntik cuma kayak digigit semut merah.”
“Ya, udah! Tapi aku ditemanin
sama koko ya?”
Aku menggangukkan kepalaku tanda
setuju.
*****
Daniel dirujuk ke Bagian Anak di
salah satu Rumah Sakit di Jakarta . Di rumah sakit itu, sumsum tulang
belakangnya diambil. Ternyata trombositnya rendah, sedangkan sel darah putih
berlebihan. Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan, ia positif terjangkit
leukemia dan harus menjalani pengobatan selama dua tahun.
Pada tiga bulan pertama, Daniel
dikemoterapi dan diberi obat antikanker (stitostika). Setiap kali mendapat
pengobatan, ia muntah, nyeri pada sendi, dan rambut rontok. Sel kanker pun
menjalar hingga ke bagian otak. Harapan untuk sembuh kian tipis.
“Koko! Daniel sayang koko!” ucap
Daniel ketika memelukku diatas ranjangnya.
“Koko juga sayang Daniel! Tuhan
pasti sembuhkan kamu!” aku mencoba menghiburnya. Setiap hari aku meyakinkannya,
kalau dia pasti sembuh.
“Besok, Daniel sudah bisa
pulang!”
Mungkin itu berita gembira bagi
Daniel. Tapi bagiku, tidak! Uang tabunganku sudah habis untuk membiayai
pengobatan Daniel. Dua hari yang lalu aku terpaksa menjual laptopku untuk
menutupi biaya yang belum aku lunasi. Daniel tidak akan mendapatkan terapi
lagi.
“Daniel, malu!”
“Malu kenapa sayang?”
“Kepala Daniel botak!”
“Tapi koko ngga pernah malu punya
adik yang kepalanya botak!”
“Koko, minggu depan Daniel ulang
tahun yang ke delapan loh!”
Aku menatap Daniel. “Koko ingat
kok! Daniel mau kado apa?”
Daniel berpikir sejenak.
“Daniel cuma mau sembuh. Daniel
ngga mau kado apa-apa.”
“Serius? Daniel suka
SpongeBobkan?”
“Suka banget!”
“Mau ngga kalo koko kasih boneka
SpongeBob?”
“Mau!” sahut Daniel dengan
semangat!
*****
Daniel menatapku. Sebuah tatapan
yang menyiratkan pertanyaan untuk aku jawab.
Daniel memelukku. Air matanya
jatuh. Aku mengumpulkan semua kekuatan untuk tersenyum.
“Koko, kita tinggal di sini?”
tanyanya dengan polos.
Aku mencoba menguatkan hatiku.
“Iya, sayang. Ini rumah baru
kita.”
Mendengar jawabanku, Daniel
menuntunku untuk masuk ke gubuk tersebut. Gubuk tua yang aku kontrak di
pinggiran rel kereta api.
Semuanya sudah habis aku jual
untuk membiayai pengobatan Daniel. Untuk urusan kerjaan aku terpaksa ke warnet
terdekat.
Tapi aku bersyukur dan percaya,
semuanya akan indah pada waktunya.
*****
Aku memeluk Daniel dengan lembut
yang terbaring beralaskan kasur tipis.
“Koko… Daniel sayang koko!”
“Koko juga! Koko sayang Daniel!”
“Ko, apa artinya meninggal
dunia?”
Pertanyaan yang menghentakkan
diriku yang lelah dan lapar.
“Artinya, kamu akan suatu tempat
yang jauh. Tempat di mana kamu berasal.”
“Perginya sendirian?” tanyanya
lemah.
Mataku berkaca-kaca. Namun aku
mencoba untuk menahan agar air mata itu tidak jatuh.
“Sendirian. Tapi kamu jangan
takut.”
“Kalau aku meninggal dunia, siapa
yang akan menemani koko?”
Akhirnya air mataku juga jatuh. Diantara
penderitaannya dia masih memikirkanku.
“Aku tahu, koko sering ngga makan
biar aku kenyang. Koko sering jalan kaki ke mana-mana biar bisa belikan aku
sesuatu setiap hari. Nanti di sana, siapa yang motongin kuku Daniel?” ucapnya
sambil meneteskan air matanya.
Aku memeluknya.
“Kamu ngga usah mikirin koko ya,
sayang! Tuhan pasti menjaga koko.”
“Nanti kalau aku sudah besar dan
punya uang yang banyak. Aku mau belikan koko sebuah toko. Biar koko ngga usah
kerja lagi. Trus belikan koko rumah dan mobil, biar kalau hujan bisa tetap
tidur enak dan tidak perlu lagi jalan kaki.”
Mulutku tertutup rapat. Bungkam.
Tak ada kata yang bisa melewati kerongkonganku. Di tengah rasa sakitnya, dia
masih menyimpan sebuah impian. Bukan keluh kesah karena sakit yang di deranya.
“Koko, aku pengen jadi motivator
kayak koko!”
“Kamu pasti bisa, sayang!”
“Tapi kenapa koko ngga pernah
dibayar kalo ngasih motivasi ke orang?”
Aku mengusap wajahnya yang polos
dan penuh tanda tanya.
“Melayani itu ngga boleh mikirin
bayaran.”
Daniel tersenyum.
“Koko, aku mau nyanyi buat koko.”
“Koko mau dengar suara merdu
kamu, sayang.”
Detik berikutnya suaranya
memenuhi gubuk tua tempat kami tinggal.
*****
“Koko, kenapa
nangis?” tanya Daniel dengan lemah.
Hari ini keadaan Daniel kritis.
Terpaksa aku membawanya ke rumah sakit.
Aku menghapus air mataku.
“Tuhan sembuhkan atau tidak, bagi
Daniel Tuhan tetap baik!”
Aku menggangukan kepalaku tanda
setuju dengan ucapannya.
“Koko…. Terima kasih buat boneka
SpongeBobnya ya!”
“Sama-sama sayang.”
Daniel mengambil sesuatu dibalik
bantalnya. Lalu dia melihatnya dengan lemah.
Foto kedua orang tuaku bersama
aku dan Daniel yang masih bayi.
“Koko, maafin Daniel ya kalo
selama ini Daniel nakal dan repotin koko. Nanti kalo Daniel ke Surga, Daniel
akan cari mama dan papa. Koko ngga usah kuatir lagi.”
Aku memeluk Daniel. Ya Tuhan! Aku
belum siap kehilangan Daniel!
Dengan pelan Daniel mengucapkan
sebait doa sambil memeluk boneka SpongeBobnya.
Tuhan….
Aku
lapar! Sangat Lapar!
Tapi aku
tidak ingin meminta makanan.
Aku hanya
minta berkati mereka yang kelaparan sepertiku.
Tuhan…
Aku
sakit! Sangat sakit!
Tapi aku
tidak meminta kesembuhan.
Aku hanya
minta sembuhkan mereka yang sakit sepertiku.
Tuhan…
Aku
sebatang kara!
Tapi aku
tidak meminta boneka.
Aku hanya
minta hiburkan mereka yang kesepian.
Tuhan…
Bajuku
penuh tambalan.
Tapi aku
tidak meminta baju baru.
Aku hanya
minta berkati mereka yang berkekurangan.
Tuhan…
Aku tidak
ingin mujizat-Mu.
Meski aku
tahu, Engkau sanggup melakukan-Nya.
Aku hanya
minta, tunjukkan mujizatmu kepada mereka yang tidak mempercayai-Mu.
Tuhan…
Kalau
nanti aku meninggal.
Aku tidak
ingin ada yang menangis.
Tapi aku
ingin mereka tersenyum. Tersenyum karena aku bertahan hingga akhirnya.
Tuhan…
Malam ini
aku tidak meminta apa-apa untuk diriku.
Jadilah
kehendakmu di bumi seperti di Surga.
Karena
aku tahu, bersama-Mu semuanya akan Engkau berikan.
AMIN
Detik berikutnya
Daniel menatapku dengan lembut dan lemah. Perlahan-lahan matanya tertutup
rapat. Air mataku jatuh berderai tak tertahan.
Apa
yang dapat teman – teman petik dari cerita diatas?
Artikel ini dapat anda lihat juga di theinspiredblog.blogspot.comSumber : http://motivatorsuper.com/selamat-tinggal-daniel/3917